2010/01/11

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA
MAKALAH

Dosen Pembimbing :
Chabib Mustofa, M. Sos. I





Disusun Oleh :
SURYADI MUSLIM
Nimko : 2007.4.061.0001.1.00657

STAI “ TASWIRUL AFKAR “
FAKULTAS TARBIYAH SURABAYA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Desember 2009

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA
MAKALAH

Disusun untuk memenuhi persyaratan
tugas mata kuliah Masailul Fiqhiyah



Disusun oleh :
SURYADI MUSLIM
Nimko : 2007.4.061.0001.1.00657

Dosen Pembimbing :
Chabib Mustofa, M. Sos. I

STAI “ TAWIRUL AFKAR “
FAKULTAS TARBIYAH SURABAYA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DESEMBER 2009

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………...i
Daftar isi ………………………………………………………………………...ii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah …………………………………….1

BAB II : PEMBAHASAN
1. Pengertian perkawinan …………………………………....
2. Hukum Perkawinan Lintas Agama ………………………..
3. Pandangan hukum menurut Madzhab empat tentang perkawinan beda agama …………………………………
1. Menurut Madzhab Hanafi …………………………
2. Menurut Madzhab Maliki …………………………
3. Menurut Madzhab Syafi’i …………………………
4. Menurut Madzhab Hambali ………………………

BAB III : PENUTUP …………………………. ……………………….
A. Kesimpulan ……………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………

LAMPIRAN …………………………………………………………………….





ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw. Yang telah memberi kelancaran dan kemudahan pada kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini dibuat dengan maksud memenuhi tugas mata kuliyah Masailul Fiqhiyah sebagai dasar tuntutan program pendidikan Sistem Kredit Semester ( SKS ), dengan tujuan untuk melatih Mahasiswa agar dapat memnayar karya ilmiyah yang baik dan benar.

Selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada :
a. Bapak Chabib Mustofa, M.Sos.I, selaku Dosen pembimbing makalah.
b. Para Bapak / Ibu Dosen STAI Taswirul Afkar yang secara tidak
langsung telan membekali penulis dalam menyusun makalah ini.
c. Kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah
inisehingga dapat terselesaikan dengan baik.

Selanjutnya Penulis megharap kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah kami mengharap ridho agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khusunya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.



Surabaya, 8 November 2009

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah sunnatullah, bahwa mahluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, antara laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota benenya memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memiliki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bsa berbudaya dan tidak bias membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan bia menyalurkan hawa nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan hawa nafsunya seperti hewan, melainkan dengan peraturan-peraturan yang berbetuk institusi perkawinan.

Dalam sejarah umat manusia , baik manusia primitif maupun manusia modern mengakui adanya institusi pekawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda.
Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesifik tentang hubungan sexsual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat
Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh istrinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut.
Demikian pula halnya pada bebearpa kelompok suku di pulau Mentawai, Flores, mengijinkan anak-anak gadisnya melakukan hubungan sex di luar nikah.karena anak-anak gadis yang trampil memberikan pelayanan sex akan laku lebih dahulu.

Dalam islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan sexsual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan,dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah(saling berkasih sayang) antara suami istri,hal ini sebagaimana maksud dari makna O.S. Al-rum:21 Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan istri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan,disamping cinta dan ketulusan hati’Sehingga di bawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak kan sejahtera, hingga ahirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan krhidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.

Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan istri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama danmereka teguh dalam melaksanakan ajaranagamanya.Jika agama keduanya berbeda, maka akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan tegas melarang wanita islam menikah dengan pria non muslim, baik musyrik maupun ahlul kitab, demikian pula halnya seorang pria islam dilarang menikahi wanita musyrik, kedua bentuk perkawinan ini mutlaq diharamkan.

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apabila perkawinan itu antara seorang pria illam dengan wanita ahlul kitab, bagaimana status perkawinan mereka, berdasarkan dzahir ayat 221 Q.S. Al-baqarah, maka boleh seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian halnya menurut pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula ulama yang melarang perkawinan semacam ini, dalam makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama madzhab empat dan dikaitkan dengan kenyataan actual yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini.

























BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Perkawinan

Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum mengenai pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda,dan perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan tersebaut. Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) Disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dr. Anwar Haryono dalam bukunya hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Prof. Dr. Shlaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S.Yaasin : 36 dan arti Q.S. Al-mu’minun : 27, bahwa perkawinan adalah hokum alam yang tetap dan luas bidangnya dan mencakupsetiap mahluk hidup, hokum tersebut membahagiakan setiap mahluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rahasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.

Dalam ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri sexual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusai dibumi. Menurut komplikasi hokum islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah merupakan ibadah.

Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama (beda agama) adalah Perkawinan antar agama, Yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang pria atau seorang wanita yang beragama Non Muslim, perkawinan antar agama ini dapat terjadi :
Calon Istri beragama islam, sedangkan suami tidak beragama islam,baik ahlul bait ataupun musyrik,.
Calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama islam,baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan baha yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai upaya untuk menyalurkan nafsu sexualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia sakinah mawaddah warahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya, sedangkan perkwinan lintas agama ( beda agama ) adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita Muslim dengan seorang pria non muslim.

Hukum Perkawinan Lintas Agama ( beda agama )

Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau sreorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau pria yang beragama non Islam.

Perkawinan antar agama disini dapat terjadi :
Calon Isteri beragama Islam, sedangka calon suami tidak beragama islam, baik ahlul kitab maupun musyrik.
Calon suami beragam Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.

Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama ini.
Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat Al-qur’an yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok eksklusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.

Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dan laki-laki non-muslim baik ahlul kitab ataupun musyrik, ataukah seorang laki-laki muslim dengan wanita naon-muslim baik ahlul kitab atau musyrik.

Apabila terjadi perkawinan antara seorang wanita islam dengan seorang laki-laki non-Muslim baik ahlul kitab atau musyrik, menurut sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih sunnah (1990 : 95) Ulama’ fiqih sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan beda agama ini.
Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah dalam Al-qur’an surat al-Baqarah ayat 221, yang berbunyi sebagai berikut :
وَلَا تَنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكٰتِ حَتّٰى يُؤۡمِنَّ‌ؕ
وَلَاَمَةٌ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكَةٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَتۡكُمۡ‌ۚ
وَلَا تُنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكِيۡنَ حَتّٰى يُؤۡمِنُوۡا ‌ؕ
وَلَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَكُمۡؕ
اُولٰٓٮِٕكَ يَدۡعُوۡنَ اِلَى النَّارِ ۖۚوَاللّٰهُ يَدۡعُوۡٓا اِلَى الۡجَـنَّةِ وَالۡمَغۡفِرَةِ بِاِذۡنِهٖ‌ۚ
وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُوۡنَ ‏﴿











Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wnita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari seorang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Demikian tegas dan pastinya Islam meletakka Hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita islam dengan seorang laki-laki non-muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.

Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non-muslim, baik ahlul kitab ataupun musyrik .
Menurut Ibnu Umar perkawinan seorang pria muslim dengan ahlul kitab, maka hukumnya haram, sama haramnya dengan wanita musyrik,alasannya adalah karena wanita ahlul kitab juga telah berlaku musyrik, dengan menuhankan Nabi Isa, adapun alas an lain yang mengharamkan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkanya yaitu Q.S. Al- Maidah : 5 yang telah dianulir dengan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan ahlul kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya, dia adalah teladan dalam pembinaan ahlaq islam dalam keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak-anak dan Isterinya. Tetapi Assabuni menegaskan : “Bahwa apabila dikhawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama Isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan wania kitabiyah ini hukumnya haram.

Menanggapi masalah ini, Yusuf Al-Qardlowi berpendapat bahwa, kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
a. Wanita kitabiyah benar-benar berpegang pada ajaran agama samawi, tidak ateis, tidak murtad, dan tidak beragama selain agama samawi.
b. Wanita kitabiyah tersebut harus mukhsonat ( memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina ).
c. Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum Muslimin.

Namun disisi lain sekelompok golongan yang menamaka dirinya Inklusif Pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak biasa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah Boleh.
Kelompok lai mendasarka argumentasinya pada ayat suci Al-Qur’an, yakni Q.S. Al-Maidah : 5, yang berbunyi sebagai berikut :














Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik , makanan ( sembelihan ) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal ( pula ) bagi mereka. ( Dan dihalalkan mengawini ) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir setelah beriman ( tidak menerima hukum-hukum islam ), maka hapuslah amalannya dan ia dihari kiamat termasuk orang-orang yang merugi”.

Menurut mereka aat ini merupakan ayat madaniyah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara explisit menawab beberapa keraguan mesyarakat muslim pada masa itu. Karena pada aya yang diturunkan sebelumnya, yaitu Qur’an surat Al-baqarah ayat 221 menggunakanistilah musyrik yang bias dimaknai untuk seluruh non-muslim. Namun pada ayat lain mulai membuka ruang bagi wanita ahlul kitab (Kristen dan Yahudi) untuk elakukan pernikahan dengan orang-orang muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.

Muhammad Toha, sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullah Ahmed An-Na’im dalam bukunya Dekonsruksi Syari’ah, mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks-konteks sekarang dimana seorang pria dan wanita memiliki kebebasan dan kemampuan tangung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.

Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti social yaitu Noryamin Aini yang melakukan penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil yang mengejutkan dimana figur seorang Ibu secara konsisten sangat dominant membawa anak-anaknya memeluk agama yang daanutnya. Kenyataan dari data ini sungguh dapat meruntuhkan asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang telah disebutkan oleh Maulana Mohammad Ali yang menyatakan bahwa seorang wanita wanita muslim yang menikah dengan pria non-muslim akan menemukan banyak permasalahan dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan impiris yang dapat dijadikan dasar memperbolehkan perkawinan antar agama ini.

Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa para ulama’ fiqih sepakat mengharamkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang Pria non-Muslim, apakah dia gologan ahlul kitab ataupun musyrik.

Pandangan hukum Menurut Madzhab Yang Empat
tentang perkawinan beda Agama

Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama’ sepakat mengatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak shah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki Muslim dan seorang wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka ulama’ berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut dalam pembahasan terakhir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama’ madzhab yang empat ( Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hambali ), walaupun pada prinsipnya ulama’ madzhab empat mempunyai pandangan yang sama bahwa “Wanita kitabiyah boleh dinikahi”, untuk lebih jelasnya, berikut pandangan ke empat Imam Madzhab Fiqih tersebut mengenai hukum perkawinan beda Agama:

1. Menurut Madzhab Hanafi

Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa perkawinan antara Pria Muslim dan Wanita Musyrik hukumnya adalah Muthlaq Haram, tetapi membolehkan wanita ahlul kitab ( Yahudi dan Nasrani ), sekalipun wanita tersebut meyakini Trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut madzhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah swt. Kepadanya, terasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As. Dan suhufnya dan orang yang percaya kepada Nabi Musa As. Dan kitab zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut madzhab ini mengawini wanita ahlul kitab dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab dzimmi hukumnya makruh tanzih, alas an mereka adalah karena wanita ahlul kitab dzimmi ini menghalalkan minum arak ( Khamr ) dan menghalalkan makan daging babi.

2. Menurut Madzhab Maliki

Madzhab maliki tentang perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat, yaitu :

Pertama : Menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlaq, baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non-muslim yang berada diwilayah atau negeri yang tunduk pada hukum islam ) Maupun wanita harbiyah, namun makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si Isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.

Kedua : Tidak makruh mutlaq karena ayat tersebut tidak melarangsecara mutlaq. Metodologi berfikir madzhab maliki ini menggunakan apendekatan sad al-Zariyan ( menutup jalan yang mengarah kepada kaemafsadatan ), jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama ini, maka diharamkan.

3. Menurut madzhab Syafi’i

Demikian halnya dengan Madzhab Syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut madzhab Syafi’i adalah Wanita-wanita yahudi dan Nasrani keturunan bangsa Israel dan termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut agama Yahudi dan Nasrani.
Alas an yang dikemukakan Madzhab ini adalah :
1. Karena Nabi Isa As. Dan Nabi Musa As. Hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2. Lafal Minqqoblikum ( umat sebelum kamu ) pada qur’an surat al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok Golongan Yahudi dan Narani Bangsa Israel.

Menurut Madzhab ini yang termasuk golongan Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad Saw. Sebelum diutus menjadi seorang Rasul, Yaitu semenjak sebelum al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori ahlul kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat minqqablikum tersebut.

4. Menurut Madzhab Hambali

Pada Madzhab Hambali mengenai kajiannya tentang Perkawinan beda agama ini, mengemukakan pendapat bahwa haram minikahi wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita yahudi dan nasrani, kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat Gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasai bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari bangsa Israel saja, tapi mengatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Narani sejak saat Nabi Muhammad Saw. Belum diutus menjadi seorang Rasul.















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai mana telah diketahui bahwa yang di maksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan atar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang Pria atau seorang Wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Adapun mengenai hukum perkawinan antar agama ini terdapat bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum, disatu sisi ada yang melarang dan mengharamkan, apabila terjadi perkawinan antara seorang wanita Islam dengan seorang pria non-muslim baik ahli kitab atau musyrik, sebagaimana dilansir dalam kitab fiqh as-Sunnah ( 1990 : 95 ),oleh Sayyid Sabiq, yang mengatakan bahwa Ulama’ Fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan semacam ini sebagai mana yang telah termaktub dalam firman Allah QS. Al- Baqarah ayat 221 yang berbunyi sebagai berikut :









Yang artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganklah kamu menikahkan orng-orang muyrik ( dengan wanita-wanita mukmin ) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang muyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya ( perintah-perintah-Nya ) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Sedangkan disisi lain lagi ada yang membolehkan, berdasarkan dzohir ayat 5 Q.S. al-Maidah yang membolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian pula pandangan ulama’ pada umumnya.

Dari beberapa uraian diatas penulis dapat simpulkan bahwa perkawinan lintas agama antara muslim dan muslimah dengan non-muslim atau musyrik, pada hakekatnya diharamkan menurut hukum Islam ( Jumhur Ulama’ ), namun terdapat perbedaan pendapat jika perkawinan itu antara seorang muslimah dengan ahli kitab ( Yahudi dan Narani ). Sedangkan antara seorang muslim dengan seorangperempuan ahli kitab, sebagian pendapat membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat mempengaruhi perempuan dalam suatu keluarga.

Namun kelompok pemikir liberal pluralis, seperti Jaringan Islam liberal (JIL) berpendapat lain, mereka beranggapan bahwa semua agama sama dan oleh karena itu mereka tidak mempersoalkan perkawinan antar agama, karena semua agama menurut mereka sama-sama membawa dan mengajarkan kebenaran.






Daftar Pustaka




1. Abdullah Ahmed an-Naim, Dekonstruksi syari’ah ( terjemah ), Bandung, 2001.
2. Ahmad Salaby, Kehidupan social dalam pemikiran Islam, Jakarta, 2001.
3. Ali al-Sabuni, Tafsir Ayat Ahkam, juz 1, Makkah,: Daral-Qur’an al-Karim, 1972.
4. Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunnah. ( terjemah ) Drs.M. Tholib, Bandung, PT. Ma’arif, 1990.
5. Yusuf Al Qordawi, Huda al-Islam Fatawa Mu’assiroh, Kairo : Dar al-Afaq, 1978.
6. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, juz 2, Mesir, 1986.
7. Depag RI, Himpunan peraturan perundang-undangan dalam linkup peradilan agama, Jakarta, 2003.
8. Zuhairi misrawi, Kawin Beda Agama, www. Islamemansipatoris.com
9. Asnawi Ihsan, Warna – warni hukum perkawinan beda agam, http//asnawiihsan blokspot.com.












LAMPIRAN




CURRICULUM VITAE


1. Nama : Suryadi M.
2. Tempat Tgl. Lahir : Bondowoso, 4 juli 1976
3. Orang tua / wali : M. Syuhron ( Alm )
4. Pendidikan :
a. SD : SDN Tanah Wulan 03, tahun 1985
b. SMP : SMPN Grujugan 01, tahun 1992
c. SMU : MAN Al-Ishlah Bondowoso,tahun 1995
5. Pengalaman :

a. Osis : MAN Al-Ishlah Tahun 1995
b. tenaga pengajar : Di YPA Muthmainah-Bkl-Th. 98-01
c. Tenaga Pengajar : Di MI. ADIPURA-Sby-Th. 06-sekarang



Surabaya, 8 November 2009

Penulis


Suryadi M.

1 komentar:

  1. Permisi Numpang Promo
    Refiza Souvenir menyediakan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com

    BalasHapus